Senin, 19 Oktober 2015

Permen menyebalkan








Kau tiba-tiba datang ke hadapanku
Menyodorkan permen warna warni
Ahh, kau tahu pasti permen ini adalah kesukaanku
Permen yang dulu sering kita nikmati bersama
Dulu, sebelum kemudian kau pergi begitu saja
Aku bergeming, masih kesal karena kepergianmu yang tanpa basa-basi
Aku berpindah tempat, sengaja menghindarimu
Tapi kau masih mengikuti
Tanpa bicara kembali kau menyodorkan permen warna warni di tanganmu itu
Permen itu menggoda, terbayang rasa manisnya di mulutku
Kutelan ludah sambil kemudian berpaling lagi
Kau tak menyerah, tetap kau ikuti aku
Sambil tetap menyodorkan tangan penuh permen warna warni itu
Kali ini kuberanikan diri menatap matamu
Kau tersenyum, senyuman yang meluluhkan
Aku terdiam sejenak
Tampaknya permen ini tak berbahaya
Aku sudah benar-benar tergoda
Warna-warni permen itu
Bayangan Rasa manis yang memenuhi mulutku
Ditambah senyuman meluluhkan itu
Ahh, tampaknya permen ini tak berbahaya
Baiklah
Kugerakkan tangan untuk meraih permen-permen itu
Saat aku hampir menyentuhnya
Kau tarik kembali tanganmu
Menggenggam permenmu erat-erat
Lalu kembali pergi tanpa kata
Meninggalkan aku
Menangis

Pegang erat-erat






cinta itu  ibarat balon gas
yang sekali terlepas dari tanganmu
maka ia ... 
akan melesat cepat ke langit
tinggi... dan semakin tinggi
tak terjangkau lagi
jika sudah begitu...
apalagi yang bisa diperbuat..
selain merelakan terus terbang tinggi...

You are the One

Benar! Hatiku kini kuyup, tenggelam oleh cinta yang berubah menjadi kehampaan, ketika bahagia kita hanya menyisakan air mata yang melekat erat di setiap sudut mataku. Bahkan hanya dengan sekedar sapaan “Selamat Pagi” melalui sebuah pesan singkat, air mataku bisa luruh tanpa henti.

Kuabaikan pesan singkat darimu. Bukan tanpa sengaja, tapi aku terlalu sibuk menata hati yang tiba-tiba berantakan dan terserak hanya karena dua kata berisi sapaan darimu. Tapi kepalaku terus menerus mengajukan banyak pertanyaan yang sayangnya hanya bisa terjawab dari mulutmu.
 

 
Apa kau merasa sepi disana?
Apa kau baik-baik saja?
Apa kau bahagia tanpa kita?
Apa masih ada yang tersisa dari ‘kita’ dalam dirimu?


Bahkan jika semua jawabanmu tidak seperti yang kuharapkan, aku tak akan pernah peduli. Karena aku hanya ingin mendengar suaramu. Rangkaian rindu kepadamu membuncah tak tertahan. Maka bukannya membalas pesan singkat darimu, malam ini kuputuskan untuk menelepon dirimu.
Mungkin kita masih bisa bicara?





 
 Detik pertama setelah kau mengangkat telepon, kita seperti tercekik dalam kesunyian. Aku tak bersuara, begitupun dirimu. Tolong, jangan hening, bicaralah sayang... Tersentak. Apa aku masih bisa memanggilmu sayang?

Entahlah, tapi aku seperti tersudut dalam kesunyian yang terbangun tanpa sengaja antara kita berdua. Apa yang tersisa dari sebuah kesunyian? Mungkin hanya hening dan luka, aku menangis tanpa bersuara hingga desahan napasmu tiba-tiba terdengar jelas di telingaku. Dan keluarlah tiga kata itu dari mulutmu.

"Aku kangen kamu..."

Pesan macam apa yang berusaha kau sampaikan kepadaku? Rindu seperti apa yang baru saja keluar dari mulutmu? Aku menerka-nerka dalam tangisku. Tak kutemui jawabnya. Namun yang kutahu, aku mulai menangis sambil tersenyum. Gersangku seperti tersiram hujan.

"Aku juga... Banget..."

Tiga kata dariku, lalu kuputuskan sambungan telepon di antara kita. Aku mengetik sebuah pesan singkat untukmu :

"Kalo kamu kangen aku, dan aku kangen kamu, yang kita butuhin cuma ketemu kan?"


*****

"Maaf jika aku tak bisa menyembunyikan rindu yang telah menjelma cinta seutuhnya. Maaf juga aku tak bisa lari dari dirimu, karena hatiku telah kau kuras habis hingga ke akar-akarnya."
-Moammar Emka-

Jika memang kita harus berpisah

Senja mengubah langit menjadi berwarna oranye menyala. Entah kenapa, begitu ingin rasanya aku memalingkan pandanganku dari langit jingga. Ritual berpamitan matahari setelah setengah hari memamerkan cahayanya pada bumi, adalah momen terakhir yang ingin kunikmati. Bukan karena aku kini sudah tak lagi mengidolakan senja, tapi memandangi senja, seperti biasanya, selalu membawa ingatanku menuju kamu. Dan kamu, adalah hal terakhir yang ingin aku ingat saat ini.

Kamu memang serupa senja, yang indahnya membuat aku tergila-gila. Tapi senja, seperti halnya kamu, tak pernah mau tinggal terlalu lama, sekedar membiarkan aku menikmati indahnya lebih lama dari biasanya. Kau dan senja, seperti sama-sama tak mau termiliki, kalian ingin bebas, dengan cara kalian sendiri. Seperti senja, yang terburu-buru pergi setiap aku mengejarnya diujung jalan, begitupun kamu, menghilang secepat oranye yang berubah menjadi kelabu, saat aku berusaha meraihmu.







Aku sering bertanya, kenapa Tuhan membiarkan aku dan kamu bertemu, lalu kemudian membiarkan hatiku jatuh padamu, jika kemudian Tuhan membiarkan hatimu berjalan ke arah yang lain, membiarkan hatiku jatuh sendirian, tak berbalas, retak, hancur. Tapi kemudian aku sadar, bahwa tak patut mempertanyakan kuasa Tuhan, karena bukankah Dia bebas melakukan apa yang Dia mau, karena aku sadar betul Dia tahu mana yang baik untukku, yang sengaja dia ciptakan sebagai hamba-Nya. Maka kemudian kuterima semua sebagai bagian dari perjalanan, yang menguatkanku, mendewasakanku.

Aku belajar untuk berhenti bertanya. Maka bukan aku tak peduli jika akhirnya aku diam saat kau kembali pergi saat aku sedang berusaha meraihmu. Aku melepasmu seperti aku melepas senja. Tak lagi berusaha mengejar, karena tahu, bahwa kau berlari untuk dilepas, bukan untuk dikejar. Maka aku melepasmu berlari, dengan tenggorokan tercekat, dan hati yang luluh lantak.

Sudahlah, menghadirkan kamu dalam otakku berarti membiarkan hatiku kembali merasakan sakit yang tak terkira perihnya. Jika memang bukan pada genggamanku akan kau pasrahkan jarimu, maka takkan kuraih paksa jemari lentikmu. Dan walau sulit, kurapalkan sebuah doa, untuk kamu yang entah berada di belahan dunia yang mana, semata-mata agar kamu bahagia, walau mungkin bahagia itu bukan milikku.
Ya, semoga kamu menemukan bahagiamu di sana, di suatu tempat, yang jauh dari aku…

******

“If what we had is really over. If fate is out there we discover. Let’s find forgiveness for each other. Even if this is goodbye”

Kembali keawal







Ingatan tentangmu kembali mencengkeram kekinian-ku.

Kamu pernah bilang, ”senja” itu seperti sihir yang meredam semua gaduh, dan membungkus ribuan jalinan kata untuk ditransformasikan menjadi hening. Kemudian kamu betah berdiam diri menatap senja sembari duduk meringkuk dimanapun.

Terlalu rumit bagiku untuk memahami mengapa kamu begitu mengidolakan senja. Merah saga yang menghantarkanmu pada gelap malam. Dan menjadi lebih rumit lagi sekarang mengingat kamu dan aku berpisah justru saat senja masih membayangi kita.

Hening senja ini menyiksaku. Tubuhku kaku menatap mentari yang perlahan turun dan menghilang. Rasanya aku tak siap mengggapai malam. Menghadapi gelap. Sendirian. Beribu-ribu kilometer jauhnya dari genggaman tanganmu. Walau jelas kupahami aku telah kehilangan genggaman tanganmu sejak dua belas purnama yang lalu.

Perih. Tapi kali ini kubiarkan diriku dikecup senja dengan penuh kerelaan. Bahkan meminta supaya senja ini bersedia bertahan lebih lama. Apakah pintaku ini terlalu berlebihan?

Apa ini namanya rindu? Hingga aku begitu pasrah menerima perih yang jelas-jelas menyiksa. Dan waktu? Kemanakah waktu? Apa ia menghilang? Padahal jelas mereka bilang, waktu-lah pada akhirnya yang mampu melunturkan luka, dan mengaburkan rindu.

Tak bisakah kita kembali saja?



*****

Aku terpaku menatap layar monitor di hadapanku. Barisan kata yang meluap-luap di kepalaku kini telah berpindah dalam sekejap ke hadapanku. Aku menghela napas panjang, mataku memanas. Kembali aku menangis, meski yang keluar dari sudut mataku hanya dua bulir air mata yang dengan cepat kuseka...

Apa ini akan bertahan hingga selamanya?
Paling tidak kita mencobanya...
Tapi bagaimana jika tiba-tiba kita harus berpisah?
Apa sebenarnya yang kamu takutkan?
Entahlah... hanya saja untuk apa kita bersatu jika selalu ada kemungkinan bagi kita untuk terserak, terpisah dan meninggalkan sepi?


Ternyata aku meminta waktu tak terhingga untuk kita. Padahal jelas, hanya Tuhan yang mampu menjadi Yang Tak Terhingga. Dan apa mungkin kali ini memang benar-benar telah habis masanya bagi kita? Kamu menjadi yang sempurna dalam hempasan waktu yang berbatas.

Semua yang berawal pada hakikatnya harus berakhir. Fakta yang tak pernah kupahami maknanya hingga beberapa detik lalu. Aku (mencoba) belajar, nyatanya ini memang bukan masalah bagaimana awal dan akhir, tapi ini tentang sebuah proses. Mungkin Tuhan mencoba merengkuh kasihnya untukku dengan menghamparkan sebuah episode pembelajaran : merasa dalam batas dan juga berdamai dengan perih.

Aku masih saja tenggelam dalam genangan cinta untukmu. Tapi aku meyakinkan diri bahwa mungkin jarak ini dan perpisahan ini-lah yang akan memperindah masa depan kita. Memperindah masa depan aku dan kamu. Meski saat ini aku tak sanggup mendefinisikan apa itu masa depan. Namun paling tidak, aku akan mencoba berdamai dengan perih ini.



Aku menimbang-nimbang untuk menekan tombol send untuk email yang baru saja kuketik untuk dirimu. Kulirik senjamu dengan mataku dan mendesahkan sebait kalimat ”Aku teramat rindu padamu...”


Aku mencoba menenun rindu ini dengan berteduh pada rimbun keikhlasan...



*****


I asked God, "Why do we fall in love and get into relationships when we know that it'll end sooner or later?"


God told me he would get back to me on that. But then he turned around and said, "First tell me why you live your life even though you know you're going to die sooner or later...?”

Jatuh Cinta berkali-kali


Ini tentang hati. Sebetulnya aku bukanlah orang yang mudah jatuh hati dari satu kati kehati yang lain. Justru aku biasanya terlalu hati-hati dalam memilih hati yang akan menjadi pemilik hatiku. Sampai akhirnya aku ketemu sama kamu...

Begini ceritanya....

Ada seorang laki-laki. Laki-laki yang tidak langsung membuatku jatuh cinta di sapaan pertama, atau kedua, atau ketiga, atau ribuan sapaan sesudahnya. Butuh banyak purnama terlewat sebelum akhirnya sapanya terasa berbeda. Yang tadinya garing jadi sangat renyah untukku. Yang tadinya tidak ada apa-apanya jadi selalu apa-apa dia.

Dan sekali mataku menangkap jiwanya, rasanya tak lagi aku bisa berpaling. Banyak hal yang ternyata membuat dia istimewa. Dan begitu saja, lalu cinta itu jatuh. Dan sekali jatuh, rasanya aku tak bisa menahan untuk jatuh lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi.

Lucu memang jika dibayangkan. Aku yang tidak pernah peduli dengan rasa atau tak pernah mau tau tentang rasa orang lain, justru sekarang menjadi sangat peduli.
Itu yang membuatku akhirnya mengerti, hati ini telah jatuh cinta berkali-kali padanya  yang telah membuat hidupku menjadi lebih berwarna

Minggu, 18 Oktober 2015

Bersyukur itu jauh lebih indah, selama waktu masih ada

“Children forget that sometimes they think of themselves as a burden instead of a wish granted.”

Nyambung ggk ya kata-kata diatas dengan apa yang akan dituliskan?
Ini tentang kehidupan aku pribadi, kehidupan yang sekarang aku alami tidaklah pernah ada dalam daftar cita-citaku saat aku masih kecil dulu. Bahkan saat aku telah remaja dan mengenal dunia lebih dewasa aku tetap tidak pernah berpikir akan hari ini sebelumnya. 

Dan ternyata waktu memang tidak bisa kita kendalikan, dia akan terus mengalir sekalipun hal-hal pahit yang mungkin kita alami. Aku juga tidak pernah bermimpi atau mencita-citakan akan menjadi orang yang terlalu cepat kehilangan kedua orangtuaku. Dan ketika adikku tersayang pergi menghadap BAPA Surgawi, itupun tidak ada dalam daftar cita-citaku ketika dahulu. Tetapi itulah hidup... suka atau tidak semua akan berlalu.






Sejalannya waktu, aku belajar dari kehidupan ini. Jatuh, bangun, jatuh lagi dan jatuh... hingga akhirnya aku harus berani mengambil keputusan untuk bangkit. Aku selalu mengajarkan adik-adik yang aku didik untuk menentukan pilihan. Sebab hidup adalah pilihan. Jika kita memilih bahagia, percayalah itu yang akan kita terima dariNYA. Hanya saja tetap ada harga yang harus dibayar untuk semua itu. Dan aku menamainya penyerahan Total dan tetap bersabar sambil selalu mengucap syukur, karena tidaklah selamanya TUHAN  akan membiarkan airmata ini mengalir. Ada masanya airmata kita yang ditampung dikirbatNYA itu akan kembali pada kita dalam bentuk suatu kebahagiaan yang abadi. 

So.... daripada mengeluh mendingan juga kita bersyukur, karena itu akan memuliakan TUHAN dan menyenangkan hatinya. Biarlah semua yang sudah berlalu hilang dan lenyap bersama angin yang aku namakan waktu. Percayalah ada masanya buah kesabaran dan rasa syukur itu akan manis kita kecap. Sampai selamanya. 

Tuhan Yesus memberkati kita.